Mutiara Di Balik Kata Nikah
Dalam lisanul Fasih, disebutkan bahwa Rasulullah Saw berkata,“an- nikahu sunnati, man raghiba ‘an sunnati falaisa minni”,
artinya “nikah itu sunnahku, dan yang tidak mau mengikuti sunnahku, tidaklah termasuk umatku” (al Hadist).
Kaprikornus sebetulnya dalam Hal ini, aliran Rasulullah Saw, mempertemukan, meramu antara syariat dan hakikat (nikah). Maka apabila ada insan yang tidak berkehendak untuk itu menikah itu adalah insan yang sombong. Betapa tidak, secara konseptual sang pencipta menyatakan bahwa setiap dan segala sesuatu dijadikan berpasang pasangan.
Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah Swt.
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah membuat langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat gejala bagi orang-orang yang mengetahui." (QS Ar-Rum (30):22).
Dengan demikian Allah Swt, membuat makhluk makhluk-Nya yang saling berpasangan ialah untuk saling melengkapi. Diantara sekian banyak ciptaan-Nya yang dijadikan berpasangan ialah manusia, laki laki dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi, biar terwujud ketenangan dan ketentraman pada masing masing dari keduanya.
Maka bila ada diantara kita yang tidak berkeinginan dan berkehendak untuk tidak menikah, ialah pantas dikatakan insan yang paling sombong dibalik kemunafikan dirinya yang berhajat untuk nikah. Karenanya, dikala Tuhan keluarkan konsep ciptaan-Nya ini dengan, "Aku ciptakan kamu, saling bertemu (berpapasan)". Ini ialah syariat yang tidak sanggup ditawar, sebab, pada Hakikatnya, Tuhan telah menbiptakan insan dengan naluri, rasa dan asa yang serupa dan sama untuk mau menyebarkan rasa (cinta, sayang, gembira, duka dan lain sebagainya.)
Maka sungguh malang nasib para biarawan dan biarawati. Mereka mengisolasi dirinya untuk tidak menikah. Mereka tutupi rasa nalurinya dengan bedak kemuliaan. Padahal bebubuat demikian tidak lebih mulia dari orang-orang yang mau menikah. Akan tetapi mereka jusrru menyiksa diri dan batinnya dengan nemenjara salah satu sunnah Allah yang ada pada setiap manusia.
Apa sebetulnya yang mereka cari dibalik benak kemunafikan itu?
Di dalam Islam, nikah bukan hanya program yang sakral berseremonial atau ramuan program syariat dan hakikat. Lebih dari itu hal ini ialah legalitas makna yang terkandung pada kata nikah tersebut yang benar-benar akan menghilangkan segala kekhawatiran logis, sehingga akan gampang terbentuknya ketenangan dan ketentraman lahir dan batin.
Untuk tercapainya hal tersebut, target yang terkandung dalam insiden besar itu, tidak salah bila kita meresapi makna dan arti di balik rangkaian kata nikah dengan lebih merujuk pada bahasa arabnya yang tertulis dengan kata, "nakaha" atau "nikahun" dengan rangkaian abjad "nun, khaf, alif, dan ha". Ada baiknya abjad dari kata-kata tersebut dijelaskan disini. Mungkin saja sedikit banyak akan menunjukkan nilai yang berarti bagi subjek yang akan melaksanakan hal tersebut.
"Nun", abjad depan dari kata nikahun yang berarti "nisyanus syabab", merupakan masa muda. Lupa dalam hal itu bukan bermakna membuang dan memetieskan perjalanan hidup kita itu. Yang dimaksud ialah setiap insan yang lajang bila telah memasuki dan berikrar dengan ikatan (nikah), setiapkali itu pula ia harus memulai untuk tidak lagi berlagak dan bersikap ibarat halnya kala ia masih sendiri.
Bila pada masa muda (lajang) cukup berpikir satu kali dan bertanggung jawab hanya untuk dirinya sendiri, maka sesudah masuk dunia gres ini (nikah) menjadi lain. Formulasi pertimbangan pikiran bertambah dua kali mungkin lebih, dan tanggung jawab pun lebih melebar merasuk ke aneka macam aspek segi pada setiap sisi dalam kehidupan ini. Hal tersebut lantaran statusnya telah menjadi pemimpin, dalam bahasa agama, Ar-Rijalu qawwamuna 'alan nisa, (Laki-laki itu pemimpin bagi wanita (istri), dan keluarganya).
Jika dimasa muda mungkin duduk perkara nongkrong dan mangkal, tidak terlalu diperhitungkan, tetapi kali ini, hal yang tidak terlalu berarti mulai ditinggalkan. Bila tidak, sekali waktu mungkin tak duduk perkara mengenang masa lajang. Maka fokus yang dikehendaki dalam hal ini ialah dituntutnya rasa tanggung jawab yang lebih serius. Bukan untuk kepentingan dan laba langsung lagi tetapi untuk bersama. Bukan hanya menanggung amanat hidup berumahtangga tetapi juga menjawab teka-teki kehidupan berdua (suami-istri).
Asam dan garam jadi bumbu pemula maka masuk akal bila kemudian kita mengenal istilah dari orang-orang bau tanah kita, katanya, "Telah banyak makan asam dan garam". Apa sebetulnya dibalik mengambinghitamkan "asam dan garam" dalam kehidupan ini?
Istilah atau ungkapan di atas sering kali diartikan dengan "banyak pengalaman hidup". Bila anda setuju, mari kita buka makna lebih dalam dari istilah "asam" dan "garam". Mengapa mesti dua kata itu yang digunakan mengungkapkan orang yang telah berpengalaman menjalani kehidupan? Kenapa tidak dengan manis dan pahit (gula dan jamu), bukankah ini lebih gampang dipahami?
Bila kita memakan "asam", maka ada dua hal yang terjadi, pertama, verbal kita tertutup dan kedua dahi kita terkerut. Mulut yang terkatup menjadi menunjukan bahwa hidup ini tidak seindah dan semudah yang dibayangkan dan dibicarakan. Karenanya jangan terlalu banyak membuka mulut, perbanyaklah tangan dan kaki yang bergerak. Jangan terlalu banyak bicara, perbanyak bekerja. Jangan banyak argumentasi, tetapi sepi aksi.
Sementara kernyitan dahi menandakan berpikir. Kita seharusnya lebih banyak berpikir daripada berbicara. Kita harusnya lebuh mengutamakan kebijaksanaan bukan sekedar terikat. Di kalangan santri, dikenal istilah fakir qabla anta'jima,berpikir sebelum berbuat. Maka, berasam-asamlah bila hidup uini ingin sukses!
Selanjutnya perihal "garam", bagaimana ia? Lidahnya yang lebih tahu garam yang rasanya asin itu ibarat apa? Sebelum kepala yang berotak ini mengolah definisinya. Rasa asin, kata orang bikin tenggorokan menjadi haus dan dahaga, maka masuk akal bila kemudian ada pernyataan "semakin diminum air bahari semakin haus dirasa".
Dalam hal ini kehausan yang mendorong untuk selalu minum, ialah ungkapan banyaknya rasa-rasa kehidupan yang telah tertelan dalam perjalanan hidup orang-orang bau tanah kita, maka dengan sendirinya segudang pengalaman hidup pun dilalui dan didapat. Inilah rupanya orang-orang berumur senja.
artinya “nikah itu sunnahku, dan yang tidak mau mengikuti sunnahku, tidaklah termasuk umatku” (al Hadist).
Kaprikornus sebetulnya dalam Hal ini, aliran Rasulullah Saw, mempertemukan, meramu antara syariat dan hakikat (nikah). Maka apabila ada insan yang tidak berkehendak untuk itu menikah itu adalah insan yang sombong. Betapa tidak, secara konseptual sang pencipta menyatakan bahwa setiap dan segala sesuatu dijadikan berpasang pasangan.
Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah Swt.
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah membuat langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat gejala bagi orang-orang yang mengetahui." (QS Ar-Rum (30):22).
Dengan demikian Allah Swt, membuat makhluk makhluk-Nya yang saling berpasangan ialah untuk saling melengkapi. Diantara sekian banyak ciptaan-Nya yang dijadikan berpasangan ialah manusia, laki laki dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi, biar terwujud ketenangan dan ketentraman pada masing masing dari keduanya.
Maka bila ada diantara kita yang tidak berkeinginan dan berkehendak untuk tidak menikah, ialah pantas dikatakan insan yang paling sombong dibalik kemunafikan dirinya yang berhajat untuk nikah. Karenanya, dikala Tuhan keluarkan konsep ciptaan-Nya ini dengan, "Aku ciptakan kamu, saling bertemu (berpapasan)". Ini ialah syariat yang tidak sanggup ditawar, sebab, pada Hakikatnya, Tuhan telah menbiptakan insan dengan naluri, rasa dan asa yang serupa dan sama untuk mau menyebarkan rasa (cinta, sayang, gembira, duka dan lain sebagainya.)
Maka sungguh malang nasib para biarawan dan biarawati. Mereka mengisolasi dirinya untuk tidak menikah. Mereka tutupi rasa nalurinya dengan bedak kemuliaan. Padahal bebubuat demikian tidak lebih mulia dari orang-orang yang mau menikah. Akan tetapi mereka jusrru menyiksa diri dan batinnya dengan nemenjara salah satu sunnah Allah yang ada pada setiap manusia.
Apa sebetulnya yang mereka cari dibalik benak kemunafikan itu?
Di dalam Islam, nikah bukan hanya program yang sakral berseremonial atau ramuan program syariat dan hakikat. Lebih dari itu hal ini ialah legalitas makna yang terkandung pada kata nikah tersebut yang benar-benar akan menghilangkan segala kekhawatiran logis, sehingga akan gampang terbentuknya ketenangan dan ketentraman lahir dan batin.
Untuk tercapainya hal tersebut, target yang terkandung dalam insiden besar itu, tidak salah bila kita meresapi makna dan arti di balik rangkaian kata nikah dengan lebih merujuk pada bahasa arabnya yang tertulis dengan kata, "nakaha" atau "nikahun" dengan rangkaian abjad "nun, khaf, alif, dan ha". Ada baiknya abjad dari kata-kata tersebut dijelaskan disini. Mungkin saja sedikit banyak akan menunjukkan nilai yang berarti bagi subjek yang akan melaksanakan hal tersebut.
"Nun", abjad depan dari kata nikahun yang berarti "nisyanus syabab", merupakan masa muda. Lupa dalam hal itu bukan bermakna membuang dan memetieskan perjalanan hidup kita itu. Yang dimaksud ialah setiap insan yang lajang bila telah memasuki dan berikrar dengan ikatan (nikah), setiapkali itu pula ia harus memulai untuk tidak lagi berlagak dan bersikap ibarat halnya kala ia masih sendiri.
Bila pada masa muda (lajang) cukup berpikir satu kali dan bertanggung jawab hanya untuk dirinya sendiri, maka sesudah masuk dunia gres ini (nikah) menjadi lain. Formulasi pertimbangan pikiran bertambah dua kali mungkin lebih, dan tanggung jawab pun lebih melebar merasuk ke aneka macam aspek segi pada setiap sisi dalam kehidupan ini. Hal tersebut lantaran statusnya telah menjadi pemimpin, dalam bahasa agama, Ar-Rijalu qawwamuna 'alan nisa, (Laki-laki itu pemimpin bagi wanita (istri), dan keluarganya).
Jika dimasa muda mungkin duduk perkara nongkrong dan mangkal, tidak terlalu diperhitungkan, tetapi kali ini, hal yang tidak terlalu berarti mulai ditinggalkan. Bila tidak, sekali waktu mungkin tak duduk perkara mengenang masa lajang. Maka fokus yang dikehendaki dalam hal ini ialah dituntutnya rasa tanggung jawab yang lebih serius. Bukan untuk kepentingan dan laba langsung lagi tetapi untuk bersama. Bukan hanya menanggung amanat hidup berumahtangga tetapi juga menjawab teka-teki kehidupan berdua (suami-istri).
Asam dan garam jadi bumbu pemula maka masuk akal bila kemudian kita mengenal istilah dari orang-orang bau tanah kita, katanya, "Telah banyak makan asam dan garam". Apa sebetulnya dibalik mengambinghitamkan "asam dan garam" dalam kehidupan ini?
Istilah atau ungkapan di atas sering kali diartikan dengan "banyak pengalaman hidup". Bila anda setuju, mari kita buka makna lebih dalam dari istilah "asam" dan "garam". Mengapa mesti dua kata itu yang digunakan mengungkapkan orang yang telah berpengalaman menjalani kehidupan? Kenapa tidak dengan manis dan pahit (gula dan jamu), bukankah ini lebih gampang dipahami?
Bila kita memakan "asam", maka ada dua hal yang terjadi, pertama, verbal kita tertutup dan kedua dahi kita terkerut. Mulut yang terkatup menjadi menunjukan bahwa hidup ini tidak seindah dan semudah yang dibayangkan dan dibicarakan. Karenanya jangan terlalu banyak membuka mulut, perbanyaklah tangan dan kaki yang bergerak. Jangan terlalu banyak bicara, perbanyak bekerja. Jangan banyak argumentasi, tetapi sepi aksi.
Sementara kernyitan dahi menandakan berpikir. Kita seharusnya lebih banyak berpikir daripada berbicara. Kita harusnya lebuh mengutamakan kebijaksanaan bukan sekedar terikat. Di kalangan santri, dikenal istilah fakir qabla anta'jima,berpikir sebelum berbuat. Maka, berasam-asamlah bila hidup uini ingin sukses!
Selanjutnya perihal "garam", bagaimana ia? Lidahnya yang lebih tahu garam yang rasanya asin itu ibarat apa? Sebelum kepala yang berotak ini mengolah definisinya. Rasa asin, kata orang bikin tenggorokan menjadi haus dan dahaga, maka masuk akal bila kemudian ada pernyataan "semakin diminum air bahari semakin haus dirasa".
Dalam hal ini kehausan yang mendorong untuk selalu minum, ialah ungkapan banyaknya rasa-rasa kehidupan yang telah tertelan dalam perjalanan hidup orang-orang bau tanah kita, maka dengan sendirinya segudang pengalaman hidup pun dilalui dan didapat. Inilah rupanya orang-orang berumur senja.
0 Response to "Mutiara Di Balik Kata Nikah"
Post a Comment